Ruang Kerja Pembuat yang Dibangun oleh Siswa Sekolah Dasar

Siswa kelas tiga merancang ruang produksi untuk sekolah mereka. Kemudian anggaran mereka disetujui dan mereka membangunnya.

Ketika Sekolah Dasar Ocean City, tempat saya bekerja, meminta sekelompok anak berusia 8 tahun untuk membuat sesuatu, para siswa diberi satu persyaratan desain: Apa pun yang mereka buat harus dapat memperbaiki komunitas sekolah dan memecahkan masalah. Hal ini memungkinkan para siswa untuk menjadi kreatif dan mengeksplorasi minat mereka dalam mengatasi masalah di dunia nyata. Para siswa menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan yang nyata untuk membuat perbedaan di sekolah mereka.

Enam Langkah Menuju Makerspace yang Menarik

1. Bimbingan dan fasilitasi: Awalnya, para siswa memberikan respons khas anak usia 8 tahun, seperti, “Robot yang mengerjakan pekerjaan rumahmu!” Penting untuk mengenali ide-ide ini dan mendukungnya, tetapi tantanglah para siswa untuk mengkritik konsep mereka. Dalam kasus robot, para siswa akhirnya setuju bahwa robot tidak akan bermanfaat bagi seluruh komunitas.

Ide menarik lainnya adalah mesin penjual pizza. Setelah berdiskusi, para siswa memutuskan bahwa hal itu tidak menyelesaikan masalah karena sekolah tersebut sudah memiliki kafetaria yang menyediakan pizza. Jadi, mereka mulai membicarakan hal-hal yang tidak dimiliki sekolah tersebut.

2. Saat ide bagus muncul, langsung jalankan: Saat seorang siswa mengusulkan untuk membangun ruang produksi, teman-temannya bertanya-tanya apa itu dan mulai meneliti ide tersebut. Mereka meneriakkan hasil temuan: “Ruang produksi memiliki alat! Anda dapat membangun sesuatu di dalamnya!” Antusiasme itu menular, dan saat itulah guru tahu bahwa proyek tersebut berada di jalur yang benar. Para siswa termotivasi, bersemangat, dan gembira.

3. Mengintegrasikan kurikulum: Setelah ide proyek ditetapkan, langkah selanjutnya adalah mengintegrasi kurikulum ke dalamnya. Guru harus bertanya, “Apa yang dapat saya ajarkan kepada siswa saya dalam topik yang telah mereka pilih?”

Untuk membangun makerspace di sekolah mereka, siswa Ocean City harus mendapatkan persetujuan dari dewan sekolah—mereka harus menulis proposal. Guru memasukkan pelajaran tentang strategi prapenulisan dan cara menyusun proposal.

Proposal tersebut perlu menyertakan anggaran dengan lembar kerja yang terorganisasi. Pelajaran tentang anggaran keuangan dan lembar kerja digital telah ditambahkan.

Siswa perlu mencari ruang untuk makerspace, mendesainnya, dan membuat cetak biru untuk membangunnya. Pengukuran dan tahapan proses desain dieksplorasi. Dan mereka perlu mempresentasikan rencana mereka kepada personel gedung dan lahan, serta dewan sekolah, yang menunjukkan perlunya pelajaran berbicara di depan umum.

Peluang pembelajaran ada dalam proyek apa pun, dan guru dapat mengaitkan pelajaran ke dalam prosedur proyek.

4. Membimbing siswa mengatasi tantangan: Siswa harus menyerahkan anggaran untuk meminta dana yang akan disumbangkan oleh Dewan Pendidikan Ocean City dan Dewan Pendidikan Sea Isle, distrik mitra Ocean City.

Awalnya, para siswa ingin membuat ruang produksi konvensional tingkat dasar yang diisi dengan bahan kerajinan dan printer 3D. Mereka segera menyadari bahwa bahan-bahan tersebut perlu diisi ulang terus-menerus dari tahun ke tahun. Bola kapas, stik es krim, lem, karet gelang, dan filamen cetak 3D memerlukan pendanaan tahunan.

Menyimpan inventaris barang-barang ini pada akhirnya akan menguras kantong, jadi anak-anak mengembangkan ide untuk membeli bahan bangunan yang dapat digunakan berulang-ulang. Salah satu wajah siswa berseri-seri saat dia dengan antusias berteriak, “Lego!” Kerumunan pun bersorak, “Ya! Ruang pembuat Lego!”

Kendala dalam proyek desain merupakan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan dan strategi pemecahan masalah. Proses mengatasi tantangan mengajarkan mereka untuk menjadi tangguh dan berdedikasi pada tujuan keseluruhan yaitu menyelesaikan tugas.

5. Rencanakan dan presentasikan: Dengan konsep yang sudah ada, para siswa mulai merencanakan ruang pembuat Lego, yang kemudian mereka sebut sebagai Lego-Space. Mereka mengidentifikasi ruang utilitas yang tidak terpakai di perpustakaan sekolah dan memetakan cetak biru yang mencakup stasiun penelitian, jendela dan meja curah pendapat yang dapat dihapus, dan tempat penyimpanan Lego. Semua perlengkapan ini dan perlengkapan lainnya menghabiskan biaya gabungan sebesar $2.000.

Kami menemukan perusahaan bernama Play Platoon yang membuat batu bata bangunan yang kompatibel dengan Lego, dan dapat membeli 65.000 batu bata dengan berbagai ukuran dan warna seharga $1.700.

Saat mereka mencari-cari furnitur yang terjangkau, salah satu siswa menemukan balok raksasa mirip Lego yang disebut Everblock yang dapat digunakan untuk membangun struktur besar. Balok-balok ini harganya sekitar $6 masing-masing dan berfungsi seperti Lego. Kami akhirnya membeli 1.000 Everblock dan menggunakannya untuk membangun meja, kursi, dan dinding di dalam makerspace.

Sama mendebarkannya dengan menemukan Everblocks, yang lebih menarik lagi adalah kenyataan bahwa siswa kelas tiga akan menjadi orang-orang yang membangun komponen untuk ruang itu.

Dengan proposal, cetak biru, dan anggaran sekitar $10.000, para siswa membawa proyek mereka ke dewan sekolah dan mempresentasikannya di hadapan hampir 100 anggota masyarakat, dan rencana tersebut disetujui.

6. Membangun: Tepat sebelum tahun ajaran 2017–18, para siswa berkumpul di luar ruang utilitas. Tumpukan Everblock telah ditata dan disusun berdasarkan warna. Para siswa dibagi menjadi beberapa tim dan mulai menyusun batu bata bangunan menjadi apa yang akan menjadi Lego-Space.

Enam jam kemudian, ruangan itu sudah siap. Anak-anak berusia 8 tahun yang berbakat itu tidak percaya apa yang telah mereka ciptakan. Pencapaian itu menanamkan benih kesuksesan dalam diri setiap anak. Mereka mengambil kesempatan kreatif untuk memperbaiki sekolah dan mengubahnya menjadi sesuatu yang nyata dan berguna.

Dampak pada Komunitas Sekolah

Lego-Space digunakan oleh berbagai siswa, guru, dan staf. Kami menggabungkan Dash Robots yang dibuat oleh Wonder Workshop yang memiliki tambahan bata bangunan—kami sudah memiliki robot ini sebelum membuat makerspace—sehingga anak-anak dapat mendesain dan membangun aksesori robot dari bata. Kelas STEAM merancang dan merekayasa mobil balap Lego untuk mengajarkan proses desain; guru kelas berencana untuk memasukkan Lego ke dalam kurikulum mata pelajaran mereka; konselor pembimbing menggunakan ruangan tersebut sebagai alat modifikasi perilaku; dan klub sepulang sekolah menggunakannya untuk proyek desain.

Dampak yang diberikan para siswa di sekolah itu nyata. Mereka menyadari perlunya makerspace dan mengambil langkah-langkah untuk mewujudkannya. Pelajaran yang tak terhitung jumlahnya yang dipelajari selama proses tersebut dan pengalaman hidup yang diperoleh para siswa pasti akan menjadi pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan oleh anak-anak.

Related Posts

PBL di Kelas Dasar Awal

Menetapkan pembelajaran berbasis proyek dengan siswa muda bisa menjadi tantangan, namun hal ini sepadan dengan usaha yang dikeluarkan, menurut guru kelas satu di seluruh AS Melakukan perubahan pada pengajaran di…

5 Tips untuk Memulai PBL di Kelas Matematika

Petunjuk bagi guru matematika di sekolah menengah pertama dan atas yang memiliki kekhawatiran tentang penerapan pembelajaran berbasis proyek di kelas mereka. Ketika tahun ajaran baru dimulai di Oklahoma City, siswa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *